Istilah ini awalnya saya kenal dari Mbak Poppy, untuk menyebut penerjemah yang hasil karyanya begitu mulus (mungkin mestinya disebut penerjemah jalan tol juga) sehingga penyunting seperti meluncur, berhenti sebentar-sebentar saja untuk memperbaiki dan membenahi sekiranya ada keterpelesetan. Saya yakin tidak ada penerjemah yang sengaja melakukan kesalahan (setidaknya, yang pernah saya tangani). Ibarat pengemudi, barangkali karena sedang letih, mengantuk, dan aneka faktor lainnya yang masih bisa dimengerti.
Sebelumnya, saya sempat menduga bahwa hasil terjemahan yang relatif tidak banyak dipoles mayoritas disunting di dalam saja oleh tim redaksi penerbit. Di samping lebih ringan sehingga tidak dikategorikan ‘butuh sepasang mata kedua’, tindakan tersebut menghemat biaya produksi dan karenanya, seperti kata seorang editor in house, harga buku bisa ditekan sedikit. Namun dari Mbak Poppy jugalah, secara tidak langsung, saya mengetahui bahwa penyunting lepas pun bisa kecipratan terjemahan bagus yang benar-benar enak dibaca. Ketika mengalami sendiri, saya bersyukur bukan buatan.
Penyebab penyuntingan itu dipercayakan pada saya, seperti editor freelance lainnya, adalah waktu. Saya tak perlu membahas lagi akan menggunungnya tugas redaksi penerbitan buku. Bukan berarti ‘dilepas total’, biasanya editor in house menyempatkan mem-proof. Selain itu, jika ada koreksi atau catatan/penilaian dari penyunting luar, editor in house akan mengecek dulu dan tidak menelan mentah-mentah seperti dugaan kebanyakan orang.
Menurut saya, penyunting yang menghadapi terjemahan bagus sebenarnya sedang diarahkan belajar oleh penerbit. Begitulah diksi yang berterima di sana, begitulah selingkung yang perlu dicermati dan dicamkan, semacam contoh jika kali lain diserahi terjemahan yang memerlukan perombakan besar. Pelajaran ini sangat berguna, terutama bila penyuntingnya juga berprofesi penerjemah seperti saya:) Saya terbilang beruntung karena ketika memperoleh naskah yang demikian, editor in house memberi tahu, “Ini salah satu penerjemah andalan kami.” Kalau tidak dari penerbit, ya saya dengar dari cerita-cerita rekan sejawat atau googling.
Selalu ada pendapat, “Wah, dapat penerjemah scroll down, kamu makan honor buta.” Sebut saya ngeles, tapi penerjemah hebat pun memerlukan penyunting. Namanya juga mengecek, memastikan, bukan mencari-cari kesalahan.
Inspiring. Jadi semakin yakin bahwa aku memang perlu juga belajar mengedit terjemahan. Sepertinya bisa mempermudah proses penerjemahan :). Semoga akan ada kesempatan suatu saat nanti.
Insya Allah, Nad. Kan tinggal menyesuaikan jadwal saja;)
Ini juga menjadi cita-cita saya, suatu saat bisa menjadi penerjemah kelas ini, ‘penerjemah scroll down’. Ah, bahagianya kalau bisa membuat sang penyunting tersenyum lebar bin manis 😉
Semoga, Mbak Desak.
Cita2 saya juga. Amin 🙂
Kapan ya aku jadi penerjemah scroll down? Semoga cepat. Aamiin 🙂
Sudah, lho. Kalau nggak percaya, tanya Mas Agus deh:))
sebenernya dapat penerjemah scroll down dan ga scroll down sama enaknya, sama-sama ngasih masukan dan ilmu baru buat penyunting. bedanya jenis yang kedua membuat honor penyunting tertahan sedikit lebih lama :p
Persis, Lul:))
Setuju sama paragraf terakhir.
semoga nanti, aku bisa jadi penerjemah scroll down 😀
Insya Allah Mery sudah termasuk;)